Maurent
Saturday, November 6, 2010
Saturday, April 10, 2010
3 PIKNIK
Entah orang menyadarinya atau tidak, ternyata salju itu ada baunya, Maurent menciumnya dengan perasaan was-was. Ia mengikuti langkah ayahnya menuju bungalow tempat berteduh dari hujan salju dikala piknik dengan keluarga rekan-rekan kerjanya.
Langkah Maurent kecil sehingga ayah harus sering-sering melihat ke belakang menunggu Maurent sampai, baru mulai jalan lagi. Lapisan salju tebal sekali sampai paha Maurent terbenam didalamnya. Mereka melewati pepohonan seperti hutan untuk bisa sampai ke bungalow.
Mereka sudah sampai di bungalow. Tempat itu kecil teduh, dilatarbelakangi oleh gunung tinggi, sungguh pemangangan yang indah.Tempat itu terlihat menyenangkan namun Maurent tetap tidak suka. Ayah mengajak Maurent masuk dan disana sudah banyak rekan kerja ayah dan keluarganya.
Seperti biasa ayah melepasnya dan Maurent mencari pojokkan untuk menyendiri. Ia berjalan mengitari bungalow kecil dan sempit itu hingga ia lelah. Akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan keramaian walau ia tidak suka.
jangan! Kau harus pergi dari sana sekarang juga... Maurent terkejut bukan main, ia mencari-cari sumber suara yang membuatnya terkejut itu. Ia benar-benar takut, ia tidak pernah merasakan setakut ini sebelumnya. Ia makin merasa tercekam dan berlari menuju keramaian. Namun belum sampai kesana kakinya sakit sekali, ia merasa kakinya seperti disayat, dikuliti, dipatahkan tulangnya, dan digiling. Maurent menahan kesakitan misteriusnya sampai air matanya keluar.
Ia mencoba berjalan keluar namun rasa sakit itu begitu menyiksanya. Kalau kau keluar, aku akan menghilangkan sakit itu. Maurent tidak takut sekarang, ia marah! Ia bersaha memberontak tapi semakin memberontak, semakin sakit kakinya. “OKE OKE AKU AKAN KELUAR!” jerit Maurent dalam hati. Namun rasa sakit itu tidak hilang. Tiba-tiba jantungnya kembali berdetak kencang, dan dirinya ingin sekali keluar entah kenapa, seperti akan ada bencana yang menewaskannya jika ia tidak keluar.
Akhirnya ia benar-benar akan bergegas keluar sesakit apapun kakinya. Namun anehnya kakinya dapat melangkah dengan ringannya saat menuju keluar, sakit itu hilang dalam sekejap. Maurent sampai di pintu bungalow tapi pintu itu terkunci. Ia menarik-narik gagang pintu seperti orang gila, ia menggedornya seakan ia disaturuangkan dengan singa yang dapat kapan saja menerkam dan mengoyak isi perutnya.
Orang-orang yang melihatnya entah kenapa menjadi panik, salah satu dari mereka yang memegang kunci membukanya. Ayah yang penasaran mendekati Maurent yang tidak sabar ingin keluar, mukanya yang pucat menjadi lebih pucat seperti mayat.
Akhirnya pintu terbuka dan menjeblak keluar. Tanpa basa-basi Maurent menyeruak kaluar dan berlari secepat kilat menjauhi bungalow. Ia tidak peduli dengan ayah yang berlari mengejarnya sambil memanggilnya, dan ibu dengan tampang menyeramkannya ikut mengejar Maurent. Ia tidak peduli! Tidak! Ia terus berlari, karena entah siapa ingin ia melakukannya.
Saking paniknya Maurent tidak menyadari ada ranting yang menghalangi jalannya, sontak ia terjatuh, ia tak sanggup berdiri, akhirnya ia merangkak, mencakar-cakar tanah dingin beku bersalju, hidungnya yang berdarah tak ia hiraukan. Ia merangkak dengan panik sampai ada seseorang yang menarik kakinya dengan kasar.
“TIDAAAAAAAAAAAAK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” Maurent tidak tau apa lagi yang harus ia lakukan. Ia menyangkutkan tangannya pada akar tidak ingin tertarik oleh tangan kasar itu namun ia tetap ta bisa menahan kakuatan sesuatu yang menariknya
“KAU INI APA-APAAN SIH!!HENTIKAN TINGKAH GILAMU INI MAURENT!!”
Alangkah terkejutnya Maurent, ternyata tangan yang menariknya adalah tangan ibu! Ia langsung memeluk ibu tak peduli ia monster macam apa. Maurent yakin ia akan benar-benar dihukum. Tetapi ia tetap tak peduli, namun beberapa lama memeluk kaku ibu, tak disangka ibu membalas pelukan Maurent. Disebelahnya ada ayah yang juga memeluk Maurent.
Tiba-tiba suara gemuruh besar mengejutkan mereka. Sontak mereka menoleh kebelakang. Mereka hampir tak percaya apa yang mereka lihat, gulungan salju menyapu bungalow tempat mereka ,mengobrol tadi dan menuju ke arah mereka dengan sangat cepat.
“CEPAT LARI!!”Ayah menggendong Maurent dan ibu berlari secepat kilat, Maurent tidak menyangka Ibu bisa bisa berlari seganas itu. Salju makin dekat bengan mereka, ayah menghindar dari pohon-pohon yang menghalanginya, dan ibu sudah ada didepan ayah dan Maurent.
Sungguh menyeramkan, Salju itu menyapu semuanya tanpa habisnya. Kaki ayah telah menyetuh gulungan salju itu dan membuat Maurent menjerit. Percikan ranting-ranting hancur merobek pipi mereka bertiga dan membuat mereka lari makin cepat. Namun sekencang apapun mereka berlari salju itu makin dekat, sehingga ayah terjatuh dan Maurent pun ikut jatuh, kepalanya berdarah tapi ia tidak peduli ia membantu ayahnya berdiri namun terlambat! Saljunya! Salju itu akan menghapus mereka sekarang juga! Maurent tak sanggup melihatnya, ia menutup matanya sambil memejamkan mata histeris. Segalanya gelap dan ia tidak sadarkan diri.
Suara jeritan orang, kerumunan orang membuat Maurent tersadar. Kepalanya sakit sekali, badannya apalagi, ia merasa badannya beku dan tidak ada yang tau, ia tidak peduli lagi, ia ingin berdiri tapi tak punya tenaga yang cukup untu melakukannya.
“Hei lihat ada orang disana!!“ Seseorang menjerit
“Anak kecil! Ya, seorang anak kecil, dan, dan… Astaga!! Ada korban lagi!!!”
Maurent tidak tahu dudah berapa lama ia pingsan. Untung saja ia tidak mati karena pendarahan dikepalanya. Namun ia masih bingung dengan apa yang ia dengar dari para penolong itu, ‘Ada korban lagi’. Maurent mencari-cari korban yang dimaksud orang-orang itu namun ia tidak menemukannya.
Pusing sekali kepalanya, rasanya mau pecah, ia meringkuk kedinginan menunggu kedatangan para penolong yang bersusah payah menembus longsoran salju yang dahsyat. Ia gemetar dibalik ranting besar. Tiba-tiba saja ada keinginan kuat untuk melihat kearah kanan bawah, rasanya seperti keinginannya tadi untuk pergi keluar. Dengan segera ia menolehkan kepalanya den ia melihat sesuatu yang membuatnya syok,tetapi wajahnya tetap muram memandangi mayat orang tuanya dan diam tanpa belas kasihan diwajahnya yang pucat.
Wajah ayah penuh darah, Maurent melihat setengah kepala ayahnya hancur, mungkin karena tergilas batang pohon atau benda lain yang terbawa salju yang sekarang menindih kaki Maurent. Matanya melotot, mulutnya terbuka, wajahnya hancur tapi Maurent tetap mengenalinya, tangannya, Maurent baru menyadarinya, pergelannganya putus. Ia tak tahu, ranting atau potongan pohon yang menyeret mereka bisa melakuka perbuatan macam itu.
Ibu melotot buyar, kosong, rahangnya robek dan Maurent, melihat, entah apa yang warnanya merah muda sekali berdarah di pecahan kepala ibunya. Maurent yakin itu otak. Ia syok namun tertarik, ia belum penah melihat otak manusia secara langsung.
Tidak seperti anak lain yang jika melihat sesuatu seseram itu akan menjerit histeris dan menangis meratap, ia hanya melihat ayahnya dengan tatapan kosong dan muram. Ia tidak ingin dan tidak bisa menangis, ia hanya diam saja meratapi nasibnya dalam hatinya yang hampa. Sungguh malang, anak semuda itu benar-benar kehilangan segalanya dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Ia terdiam menggigil sambil merasakan darahnya mengalir. Orang-orang akhirnya datang membalutnya dengan kain tebal dan menggotong kedua orang tuanya. Maurent hanya diam.... Diam dan melihat kekosongan harinya...
2 GEJALA PERTAMA
Kabut tebal menutupi rumah Maurent. Ia bangun pagi sekali, ia menatap jendela yang kabur tertutup kabut diluar. Pemanas di kamar Maurent rusak, namun ia tak ingin membuat ayahnya susah dan tak ingin dihukum ibunya, ia sudah kurus dan berharap tidak dihukum tidak boleh makan malam lagi. Jadi ia mamutuskan untuk memendamnya dan merasakan tusukan dingin yang membuatnya terdangun.
Ia mendekap badannya sendiri untuk menahan hawa dingin itu. Ia mengambil jaket yang lumayan tebal untuk menghangatkan tubuhnya. Kamar itu benar-benar dingin sehingga nafasnya berasap. Ia ingat tentang liontin itu dan kembali kekasurnya, mengambil liontin yang ia kalungkan dan dengan perlahan membukanya. Ia melihat sebuah foto, seorang wanita berambut pirang dengan senyum menawan dan tatapan hangat. Bentuk hidung dan matanya mirip sekali dengan Maurent. Namun mata wanita itu menatap hangat, sedangkan Maurent bertatapan tajam atau kosong. Ia tau itu ibunya sebelum mati. Ia menutup kembali liontin itu dan mangalungkanya kembali. Merebahkan badannya mungkin ide yang bagus untuk mangatasi kehampaan hidupnya, ia merebahkan badannya dan menatap kosong langit-langit.
Terdengar ketukan dipintunya. Ia tidak mau membukanya kalau itu ibu. Namun yang muncul suara deham ayahnya yang lembut sehingga ia dengan senang hati membukanya.
Ternyata yang ada didepan pintu bukan hanya ayahnya, tetapi makhluk yang Maurent anggap menjijikkan itu ada di sebelah suaminya.
“Ayah boleh masuk?” Maurent ragu, ia tidak mau Ibu masuk ke kerajaanya, ia tidak mau ibu melihat tempat tidurnya, markasnya, tempat teramannya. Tapi mau bagai mana lagi, ibu akan tersinggung dan membuatnya mengamuk, jadi ia mengangguk sambil melebarkan bukaan pada pintu kamarnya.
“Astaga, dingin sekali disini Maurent, kau tidak menyalakan pemanas ya?” ayah menuju tempat pemanas di kamar maurent. Gawat! Jangan ayah! Kau akan membuat ibu meledak, Maurent tidak mau menerima hukuman, pergi dari sana ayah!
Ayah hanya diam seperti berfikir. Ia melirik pada Maurent yang berwajah masam waswas. Lalu entah kenapa ia tersenyum dan mengedipkan satu matanya pada Maurent.
“Ada apa? Apa yang terjadi Tyson?” Ibu mulai mengoceh
“Astaga, maafkan ayah maurent, sepertinya ayah merusaknya ayah akan menggantinya secepatnya”
Maurent lega bukan main, ayah hebat, ia mengerti suasana hatinya, ia sungguh menyayangi ayah.
Tanpa berlama-lama ayah menyampaikan tujuannya datang menemui Maurent. “begini anakku,” Ibu tampak jijik mendengar suaminya menyebut Maurent sebagai anak “Ayah kemari ingin mengajakmu jalan-jalan, yah memang ide buruk di cuaca dingin begini, tapi waktu kami hanya sekarang, akan susah lagi mencari waktu”
Ayah melihat Maurent penuh harap.
Maurent hanya diam menatap jendela dengan tatapan kosong. Ternyata hal itu membuat ibunya tersinggung.
“KURANG AJAR KAU!” Ibu menyerbu Maurent yang hanya diam tidak bereaksi dengan sikap murka ibu. Namun tak sampai setengah jalan ayah memegang tangan ibu yang murka dan memberontak
“LEPASKAN AKU! LEPAS...”
“LAURETTE!!”
Semua terkejut dan ruangan sunyi senyam mendengar bentakan ayah. Ia tidak pernah semarah itu sebelumnya sehingga membuat ibu dan Maurent kaget bukan main. Maurent jadi ikut murka, monster macam apa yang bisa membuat ayah marah?.
Ayah berdeham halus, sikapnya kembali lembut dan sekarang Murent memandangnya dengan takut, satu-satunya orang yang ditakuti Maurent hanyalah ayah. “Maaf, kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa, ayah tidak memaksa” ayah tersenyum lembut.
Maurent sangant ingin jalan-jalan bersama , namun ia bingung bagai mana berkata yang baik pada ayah didepan makhluk itu. Ia hanya menatap ayah cemas. Tiba-tiba ia merasakan perasaan tidak enak yang mengikatnya tetap ditempat. Ia ingin pergi! Tapi perasaan itu manahannya dan membuat perasaan inginnya itu hilang. Ia cemas, ia tau akan ada sesuatu kalau ia ikut jalan-jalan. Akhir-akhir ini ia sering merasakannya dan perasaan itu memang benar. Maurent bingung, ia serba salah, namun ini satu-satunya kesempatan bisa bersama ayah...
Jangan... Seseorang mengatakannya, ia tak tau siapa yang melakukannya, ia mencari-cari tetapi yang ia temukan hanya ibu dan ayahnya.
“kalau begitu ayah keluar dulu ya Maurent, bermainlah dengan bonekamu, dan kucing mu tadi malam, eh mana kucing itu?”
Maurent manunjuk jendela
“Baiklah anakku, kalau begitu ayah pergi dulu ya” Ayah membuka pintu, ibu keluar terlebih dahulu tidak nyaman dengan hawa dingin dan mencekam kamar Murent. Lalu dengan tiba-tiba saat ayah mau keluar, Maurent memeluk kaki ayah dengan erat. Ibu yang melihatnya ingin memberontak tapi takut suaminya akan membentak lagi.
“sepertinya putri kecilku ingin pergi, baiklah siapkan dirimu nak, bawa barang mu yang menurutmu pantas dibawa, dan temui kami dibawah.” Maurent takut sekali, ia tidak mau melihat wajah ibu karena itu akan membuat perasaan cemasnya bertambah.
Dengan segera Maurent mandi, mengenakan gaun terbaiknya yang kali ini berwarna putih bersih. Ada robekan kecil di roknya namun ia tak peduli ia menganggap baju itu adalah pakaian terbaik yang ia punya. Ia membawa bonekanya, ibu yang memberikannya pada maurent sebelum meninggal, jadi ia merasa pantas membawanya. Tidak lupa ia memakai liontinnya namun ia sembunyikan balam bajunya.
Ia turun kebawah. Ia melihat ayah ada didalam mobil ibu ada disebelahnya, mobil sudah menyala siap berangkat.
“Ngapain saja kau!? Lelet sekali, cepat masuk!” ibu kembali mengoceh dan Maurent segera masuk mobil.
Mobil pun melaju. Dengan santai ayah mengemudi. Maurent sangat lega ibu duduk didepan, jadi Maurent tidak usah duduk di dekat makhluk itu. Ini pertama kalinya Maurent jalan-jalan sejak kematian ibunya. Ia menikmatinyawalau ada Ibu tiri yang membatasi gerakannya.
Namun tiba-tiba perasaan tadi muncul dam meneror dirinya kembali, ia sangat takut dan merasa sesuatu menyumbat tenggorokannya sehingga ia tidak bisa bicara. Ia ingin turun sekarang juga, tapi ia tidak mau mengecewakan perasaan ayahnya. Akhirnya ia membiarkan jantungnya berdegup kencang, saking kencangnya seperti mau copot dan turun menghindari ketakutan yang dirasakan Maurent. Ia merasa menyesal telah setuju akan pergi.
Dengan tiba-tiba wajah ibunya melintas dibenaknya. Ia makin takut, wajah itu makin cemas, ibunya menggeleng, ia menatap Maurent dengan tatapan melarang, ia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa, ia menangis, benar-benar menangis. Hawa dingin menyergap Maurent tanpa sebab, ia tidak bisa bergerak sesuatu yang hitam mencekiknya ia tidak bisa bernafas sampai suara itu datang. Terlambat... Ucapkan selamat tinggal padanya... Kau tidak bisa apa-apa sekarang, sudah terlambat... Maurent merasa ia akan mati, ia tidak bisa bernafas, ia ingin melepas cekikkan itu namun tidak ada tangan atau apapun yang mencekiknya. Tapi cekikan itu nyata!! Seseorang tolonglah ia! Ia mulai batuk-batuk dan mengeluarkan suara orang tercekik yang memilukan, ia merasakan bola matanya tertarik ke atas sehingga orang akan melihat bagian matanya yang putih. Suara tercekik Maurent membuat ayah melihat dari kaca spion dan kaget bukan main anaknya sekarat tanpa sebab. Ia meminggirkan mobilnya dan menyentuh Maurent.
Ibu! Maurent melihat ibu melepaskan cekikan itu! Dengan seketika Maurent mengambil nafas sebanyak-banyaknya dan terbatuk-batuk. Ia melihat dengan kabur wajah ayahnya yang cemas. Rasanya keajaiban ia hidup, ia tidak tau apa yang terjadi tadi, ia tidak mengerti...
Untuk pertama kalinya ia melihat wajah cemas ibu tirinya. Bibir Maurent biru kulitnya sepucat salju diluar, pipinya basah oleh air mata yang tidak dikehendakinya keluar. Jantungnya masih memberontak keluar, namun ia merasa lega ada di dekapan ayahnya.
“Kau tidak apa-apa sayang?”
Maurent masih terengah-engah dan ia mengangguk.
“Apa yang terjadi anakku?” Kata ayah dengan cemas
Maurent menggeleng tanda tak tahu. Ayahnya cemas sekali, Maurent bisa melihat dari wajahnya. Ia memeluk ayahnya, ia takut, benar-benar takut. Ayahnya cemas karena Maurent menangis.
“Mungkin ia mabuk, lanjutkan saja perjalanannya, mungkin mabuknya akan hilang kalau kita sudah sampai.” Tiba-tiba ibu berbicara dengan nada cuek tidak peduli.
“Apa kau sanggup?” Ayah bertanya pada Maurent
Maurent tetap diam dan membenamkan wajahnya di dada ayahnya, mungkin ayah bisa merasakan detak jantung Maurent saking kencangnya
“Laurette, mungkin Maurent tidak sanggup melanjutkan perjalanan...”
“Apa!? Yang benar saja! Kita sudah pergi sejauh ini dan harus kembali karena anak itu mabuk!? Tidak! Itu tindakan bodoh!” ibu mengotot
“tapi...” Ayah melepaskan dekapan Maurent dan berkata sambil menatap matanya dengan lembut dan cemas “Ayah tanya lagi, apa kau sanggup melanjutkan perjalanan kita?”
Maurent menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. Dengan sangat perlahan dan hampir tak terlihat ia mengangguk.
“Kau yakin? Tidak apa kalau kau merasa tidak enak, kita akan kembali”
Maurent melihat ibunya yang menggeleng sambil melotot menyuruhnya mengagguk. Ayah pun ikut melihat ibu, sontak ibu pura-pura bermuka cemas. Maurent sangat membencinya. Ayah melihat Maurent lagi dan Maurent mengangguk lagi dengan pelan.
“Baiklah, kalau ada apa-apa bilang saja, ayah tak mau terjadi apa-apa lagi padamu“
Ia melihat ayahnya dan melihat jendela dengan tatapan kosong. Ayah kembali ke kursi tempat menyupir dan sekali lagi melihat Maurent.
1 SEDIKIT PENGEUALIAN
Kelabu pekat awan malam itu dengan butiran salju putih yang jatuh dan terbawa angin hingga jatuh di pohon yang sudah tak berdaun lagi. Seorang anak berambut coklat pekat dengan gaun hitam kesayangannya berjalan di tengah salju yang pekat yang menerpa wajahnya yang muram itu. Ia tampak menghindari sesuatu malam itu sehingga ia memaksakan keluar malam-malam begini dengan gaun hitam yang membuatnya tampak seperti hantu kedinginan. Seperti biasanya tatapannya kosong, Maurent bahkan tidak tau tujuannya pergi malam itu apa, ia terus berjalan menjauhi rumahnya yang ramai merayakan ulang tahun sepupunya. Tidak adil!Sepupunya adalah sealanya untuk ayah dan ibunya yang tidak pernah mengharapkan anak perempuan pucat kurus muram seperti dia. Dari pada ia merasa tersiksa dialam, disuruh membawakan suguhan lebih baik ia keluar merasakan angin yang menusuk kulit pucatnya.
Kelap-kelip lampu jalan membuatnya merasa lebih baik malam itu. Sudah kali keberapa Maurent kabur dari rumah untuk sekedar menghindar dari karamaian. Ia terlalu terobsesi pada penderitaan, kehampaan, kesunyian, dan kemurungan. Karena itulah hidupnya. Ia tidak pernah menangis sejak umurnya
Maurent punya, rumah, kamar, dan mainan. Namun ia seperti boneka pajangan yang tidak diperhatikan, pucat, murung, dan sangat menyedihkan. Ia hanya keluar kamar hanya untuk makan, membersihkan diri, dan sekolah. Tapi terkadang ia dipanggil orang tuanya untuk memastikan apakah ia sehat dan bagus untuk ditinggal lagi atau harus masuk ke rumah sakit untuk dititipkan pada suster.
Sesuatu berkelebat didepan matanya, dan berdiri didepan Maurent. Memandangnya dengan mata kuning pucat, pupilnya pipih namun Maurent menyukainya. Itu adalah teman Maurent, Barbara, kucing hitam pekat yang dijauhi orang-orang yang percaya mitos tentang kucing hitam. Ia namai begitu sesuai nama temannya yang mati. Hanya Maurent yang berani mendekat karena ia tidak percaya mitos kucing hitam.
Namun Barbara tampak tidak baik malam itu, ia mengeong pelan dan serak. Maurent melihatnya tidak dengan tatapan kosong menyeramkannya lagi. Maurent berputar mengelilingi Barbara, ia menemukan kaki kucing itu berdarah banyak sekali. Dengan sangat perlahan, Maurent menggendong kucing itu menuju rumahnya.
Maurent tidak peduli orang-orang yang ada di pesta sepupunya akan melihatnya dia membuat malu orang tuanya. Dia masuk ke rumah tanpa mengucap salam sehingga para tamu kaget dengan kedatangannya. Namun ia tetap bertatapan kosong dan tidak peduli, ia membawa Barbara kekamarnya di atas.
“MAUREEEEENT!!! KEMARI CEPAT!”Sudah Maurent duga pasti ibu akan marah. Ia tetap menuju kamarnya dan menaruh Barbara di kamarnya. Ia berpesan pada Barbara agar tidak pergi dari sana lewat tatapan mata. Maurent jarang, sangat jarang, berbicara kecuali hal penting, sangan penting yang mendesaknya bicara. Ia adalah anak yang serius, sekali bicara ia benar-benar serius. Sehingga ia berkomunikasi dengan orang tuanya lewat pandangan mata.
Maurent menuruni tangga menuju ibunya.
“HEH! Maumu apa sih!?Kau telah mambuatku malu!“orang-orang melihatnya dan ibunya yang sedang membentak-bentak Maurent
„Lihat bajumau penuh darah makhluk menjijikkan itu! Tidak sadarkah kau itu membuat orang-orang terganggu!?“Ibu melotot penuh kejijikkan. Namun maurent hanya diam melihat ibunya dengan tatapan tajam
„Sudahlah Mrs.Tyson, anak mu tidak bermaksud mengganggu, kami dapat memakluminya, ia masih anak-anak“
„Apa urusanmu Mrs? Ini urusanku kau tidak usah ikut campur“
„Maafkan saya Mrs.Tyson, kalau begitu saya akan pulang dulu kalau begitu. Selamat malam“ Kepergian tamu itu membuat tamu lain juga pulang dan akhinya tinggal tersisa beberapa orang saja.
Ibunya serba salah sekarang dan akhirnya menghukum Maurent tidak biberi makan malam. Maurent pun pergi ke kamar mandi mencari kotak p3k. Ia belajar mengobati di sekolanya saat salah satu temannya tersayat pisau saat perkelahian. Padahal ia masih tujuh tahun tapi ia sudah mahir dalam banyak hal termasuk menjahit mengobati dan sedikit keterampilan membunuh yang ia pelajari disekolah saat penjahat membunuh temannya dan ialah satu-satunya saksi.
Ia mengobati kaki Barbara dengan sangat hati-hati sampai lukanya benar-benar rapi terbalut. Ia mengganti bajunya sendiri yang ternodai darah. Lalu ia mengambil bonekanya dan menyisirnya.
Tak lama kemudian ayahnya masuk, melihat Maurent dengan rambut terurai menyisiri boneka bergaunnya di pojokkan kasur dan melihatnya dengan tajam. Ayahnya merinding melihat kelakuan anaknya itu. „Maurent,“ Maurent tetap melihatnya dengan tatapan tajam. Sehingga hawa tidak enak yang mencekam merasuki dirinya yang benar-benar ingin pergi dari kamar anaknya. „Bolehkan ayah masuk?“
Maurent mengangguk
„terima kasih.“ Ayah masuk dan duduk di kasur Maurent. Namun maurent mengacuhkannya dan tetap menyisiri boneka bermuka horornya „Ayah ingin tahu, siapa yang kau bawa malam ini? Kenapa ia berdarah?“ Ia memandang Barbara yang sedang tidur di depan lemari baju di kamar Maurent yang gelap.
Maurent bergeleng tanda tak tahu. Sejauh ia hidup tujuh tahun hanya ayahnya yang baik kepadanya. Ia sayang ayah dan tidak ingin kehilangannya seperti ia kehilangan ibu waktu itu. Sudah ia duga Ibu tiri mamang todak cocok untuknya. Namun ayah dengan kasih sayang yang besar membelai kepala Maurent dan bicara dengan lembut „Maurent anakku, jangan kau bersedih karena ibumu. Ayah tau kau tidak setuju dengan pernikahan ayah dengan ibu barumu. Namun mengertilah kau Maurent, ayah butuh sosok pengganti ibu...“
„Aku bisa menggantikan ibu kalau ayah tidak menikah dengan makhluk menjijikkan itu“ Maurent sebelumnya tidak pernah bicara sepanjang itu sehingga membuat ayahnya terkejut
„Astaga Maurent... a.. aku.. ah ayah, ayah tidak tau, kau benar-benar tidak suka ya?“
Maurent memalingkan wajahnya dan bertatapan kosong kembali
„Maafkan ayah maurent. Namun kau mengatakan ini sungguh terlambat.“ Wajah ayah tampak menyesal bercampur sedih. „sudah malam, waktunya kau tidur, kemarilah Maurent“ Kata ayah, namun ia tetap manatap kosong jendela. Akhirnya ayah menarik tangan Maurent dengan lembut. Maurent menoleh dan melihatnya tersenyum lembut sambil menyelipkan sesuatu ke tangan Maurent „Selamat malam, mimpi indah anakku“ ayah mengecup kening maurent dan tersenyum seraya menutup pintu.
Maurent membuka genggamannya dan melihat bungkusan yang diberikan ayah padanya. Sebuah liontin emas berbentu spiral dengan ukiran bunga-bunga dan tanaman yang rumit. Di sebelah liontin itu ada foto ayah dan ibunya menggendong bayi sambil tersenyum. Maurent tidak menangis menerimanya. Ia hanya memandangnya, ia mengalungkan liontin itu dan menyelipkan fotonya di bawah bantal. Ia tidur tanpa ingin tau apa isi liontin itu. Ia memutuskan tidak akan membukanya hingga waktu yang ia anggap tepat.