Saturday, April 10, 2010

2 GEJALA PERTAMA

Kabut tebal menutupi rumah Maurent. Ia bangun pagi sekali, ia menatap jendela yang kabur tertutup kabut diluar. Pemanas di kamar Maurent rusak, namun ia tak ingin membuat ayahnya susah dan tak ingin dihukum ibunya, ia sudah kurus dan berharap tidak dihukum tidak boleh makan malam lagi. Jadi ia mamutuskan untuk memendamnya dan merasakan tusukan dingin yang membuatnya terdangun.


Ia mendekap badannya sendiri untuk menahan hawa dingin itu. Ia mengambil jaket yang lumayan tebal untuk menghangatkan tubuhnya. Kamar itu benar-benar dingin sehingga nafasnya berasap. Ia ingat tentang liontin itu dan kembali kekasurnya, mengambil liontin yang ia kalungkan dan dengan perlahan membukanya. Ia melihat sebuah foto, seorang wanita berambut pirang dengan senyum menawan dan tatapan hangat. Bentuk hidung dan matanya mirip sekali dengan Maurent. Namun mata wanita itu menatap hangat, sedangkan Maurent bertatapan tajam atau kosong. Ia tau itu ibunya sebelum mati. Ia menutup kembali liontin itu dan mangalungkanya kembali. Merebahkan badannya mungkin ide yang bagus untuk mangatasi kehampaan hidupnya, ia merebahkan badannya dan menatap kosong langit-langit.


Terdengar ketukan dipintunya. Ia tidak mau membukanya kalau itu ibu. Namun yang muncul suara deham ayahnya yang lembut sehingga ia dengan senang hati membukanya.


Ternyata yang ada didepan pintu bukan hanya ayahnya, tetapi makhluk yang Maurent anggap menjijikkan itu ada di sebelah suaminya.


“Ayah boleh masuk?” Maurent ragu, ia tidak mau Ibu masuk ke kerajaanya, ia tidak mau ibu melihat tempat tidurnya, markasnya, tempat teramannya. Tapi mau bagai mana lagi, ibu akan tersinggung dan membuatnya mengamuk, jadi ia mengangguk sambil melebarkan bukaan pada pintu kamarnya.


“Astaga, dingin sekali disini Maurent, kau tidak menyalakan pemanas ya?” ayah menuju tempat pemanas di kamar maurent. Gawat! Jangan ayah! Kau akan membuat ibu meledak, Maurent tidak mau menerima hukuman, pergi dari sana ayah!


Ayah hanya diam seperti berfikir. Ia melirik pada Maurent yang berwajah masam waswas. Lalu entah kenapa ia tersenyum dan mengedipkan satu matanya pada Maurent.


“Ada apa? Apa yang terjadi Tyson?” Ibu mulai mengoceh


“Astaga, maafkan ayah maurent, sepertinya ayah merusaknya ayah akan menggantinya secepatnya”


Maurent lega bukan main, ayah hebat, ia mengerti suasana hatinya, ia sungguh menyayangi ayah.


Tanpa berlama-lama ayah menyampaikan tujuannya datang menemui Maurent. “begini anakku,” Ibu tampak jijik mendengar suaminya menyebut Maurent sebagai anak “Ayah kemari ingin mengajakmu jalan-jalan, yah memang ide buruk di cuaca dingin begini, tapi waktu kami hanya sekarang, akan susah lagi mencari waktu”

Ayah melihat Maurent penuh harap.

Maurent hanya diam menatap jendela dengan tatapan kosong. Ternyata hal itu membuat ibunya tersinggung.


“KURANG AJAR KAU!” Ibu menyerbu Maurent yang hanya diam tidak bereaksi dengan sikap murka ibu. Namun tak sampai setengah jalan ayah memegang tangan ibu yang murka dan memberontak

“LEPASKAN AKU! LEPAS...”


“LAURETTE!!”


Semua terkejut dan ruangan sunyi senyam mendengar bentakan ayah. Ia tidak pernah semarah itu sebelumnya sehingga membuat ibu dan Maurent kaget bukan main. Maurent jadi ikut murka, monster macam apa yang bisa membuat ayah marah?.


Ayah berdeham halus, sikapnya kembali lembut dan sekarang Murent memandangnya dengan takut, satu-satunya orang yang ditakuti Maurent hanyalah ayah. “Maaf, kalau kau tidak mau juga tidak apa-apa, ayah tidak memaksa” ayah tersenyum lembut.


Maurent sangant ingin jalan-jalan bersama , namun ia bingung bagai mana berkata yang baik pada ayah didepan makhluk itu. Ia hanya menatap ayah cemas. Tiba-tiba ia merasakan perasaan tidak enak yang mengikatnya tetap ditempat. Ia ingin pergi! Tapi perasaan itu manahannya dan membuat perasaan inginnya itu hilang. Ia cemas, ia tau akan ada sesuatu kalau ia ikut jalan-jalan. Akhir-akhir ini ia sering merasakannya dan perasaan itu memang benar. Maurent bingung, ia serba salah, namun ini satu-satunya kesempatan bisa bersama ayah...


Jangan... Seseorang mengatakannya, ia tak tau siapa yang melakukannya, ia mencari-cari tetapi yang ia temukan hanya ibu dan ayahnya.


“kalau begitu ayah keluar dulu ya Maurent, bermainlah dengan bonekamu, dan kucing mu tadi malam, eh mana kucing itu?”


Maurent manunjuk jendela


“Baiklah anakku, kalau begitu ayah pergi dulu ya” Ayah membuka pintu, ibu keluar terlebih dahulu tidak nyaman dengan hawa dingin dan mencekam kamar Murent. Lalu dengan tiba-tiba saat ayah mau keluar, Maurent memeluk kaki ayah dengan erat. Ibu yang melihatnya ingin memberontak tapi takut suaminya akan membentak lagi.


“sepertinya putri kecilku ingin pergi, baiklah siapkan dirimu nak, bawa barang mu yang menurutmu pantas dibawa, dan temui kami dibawah.” Maurent takut sekali, ia tidak mau melihat wajah ibu karena itu akan membuat perasaan cemasnya bertambah.


Dengan segera Maurent mandi, mengenakan gaun terbaiknya yang kali ini berwarna putih bersih. Ada robekan kecil di roknya namun ia tak peduli ia menganggap baju itu adalah pakaian terbaik yang ia punya. Ia membawa bonekanya, ibu yang memberikannya pada maurent sebelum meninggal, jadi ia merasa pantas membawanya. Tidak lupa ia memakai liontinnya namun ia sembunyikan balam bajunya.


Ia turun kebawah. Ia melihat ayah ada didalam mobil ibu ada disebelahnya, mobil sudah menyala siap berangkat.


“Ngapain saja kau!? Lelet sekali, cepat masuk!” ibu kembali mengoceh dan Maurent segera masuk mobil.


Mobil pun melaju. Dengan santai ayah mengemudi. Maurent sangat lega ibu duduk didepan, jadi Maurent tidak usah duduk di dekat makhluk itu. Ini pertama kalinya Maurent jalan-jalan sejak kematian ibunya. Ia menikmatinyawalau ada Ibu tiri yang membatasi gerakannya.


Namun tiba-tiba perasaan tadi muncul dam meneror dirinya kembali, ia sangat takut dan merasa sesuatu menyumbat tenggorokannya sehingga ia tidak bisa bicara. Ia ingin turun sekarang juga, tapi ia tidak mau mengecewakan perasaan ayahnya. Akhirnya ia membiarkan jantungnya berdegup kencang, saking kencangnya seperti mau copot dan turun menghindari ketakutan yang dirasakan Maurent. Ia merasa menyesal telah setuju akan pergi.


Dengan tiba-tiba wajah ibunya melintas dibenaknya. Ia makin takut, wajah itu makin cemas, ibunya menggeleng, ia menatap Maurent dengan tatapan melarang, ia seperti ingin mengatakan sesuatu tapi tak bisa, ia menangis, benar-benar menangis. Hawa dingin menyergap Maurent tanpa sebab, ia tidak bisa bergerak sesuatu yang hitam mencekiknya ia tidak bisa bernafas sampai suara itu datang. Terlambat... Ucapkan selamat tinggal padanya... Kau tidak bisa apa-apa sekarang, sudah terlambat... Maurent merasa ia akan mati, ia tidak bisa bernafas, ia ingin melepas cekikkan itu namun tidak ada tangan atau apapun yang mencekiknya. Tapi cekikan itu nyata!! Seseorang tolonglah ia! Ia mulai batuk-batuk dan mengeluarkan suara orang tercekik yang memilukan, ia merasakan bola matanya tertarik ke atas sehingga orang akan melihat bagian matanya yang putih. Suara tercekik Maurent membuat ayah melihat dari kaca spion dan kaget bukan main anaknya sekarat tanpa sebab. Ia meminggirkan mobilnya dan menyentuh Maurent.


Ibu! Maurent melihat ibu melepaskan cekikan itu! Dengan seketika Maurent mengambil nafas sebanyak-banyaknya dan terbatuk-batuk. Ia melihat dengan kabur wajah ayahnya yang cemas. Rasanya keajaiban ia hidup, ia tidak tau apa yang terjadi tadi, ia tidak mengerti...


Untuk pertama kalinya ia melihat wajah cemas ibu tirinya. Bibir Maurent biru kulitnya sepucat salju diluar, pipinya basah oleh air mata yang tidak dikehendakinya keluar. Jantungnya masih memberontak keluar, namun ia merasa lega ada di dekapan ayahnya.


“Kau tidak apa-apa sayang?”


Maurent masih terengah-engah dan ia mengangguk.


“Apa yang terjadi anakku?” Kata ayah dengan cemas


Maurent menggeleng tanda tak tahu. Ayahnya cemas sekali, Maurent bisa melihat dari wajahnya. Ia memeluk ayahnya, ia takut, benar-benar takut. Ayahnya cemas karena Maurent menangis.


“Mungkin ia mabuk, lanjutkan saja perjalanannya, mungkin mabuknya akan hilang kalau kita sudah sampai.” Tiba-tiba ibu berbicara dengan nada cuek tidak peduli.


“Apa kau sanggup?” Ayah bertanya pada Maurent


Maurent tetap diam dan membenamkan wajahnya di dada ayahnya, mungkin ayah bisa merasakan detak jantung Maurent saking kencangnya


“Laurette, mungkin Maurent tidak sanggup melanjutkan perjalanan...”


“Apa!? Yang benar saja! Kita sudah pergi sejauh ini dan harus kembali karena anak itu mabuk!? Tidak! Itu tindakan bodoh!” ibu mengotot


“tapi...” Ayah melepaskan dekapan Maurent dan berkata sambil menatap matanya dengan lembut dan cemas “Ayah tanya lagi, apa kau sanggup melanjutkan perjalanan kita?”


Maurent menatap ayahnya dengan mata penuh air mata. Dengan sangat perlahan dan hampir tak terlihat ia mengangguk.


“Kau yakin? Tidak apa kalau kau merasa tidak enak, kita akan kembali”


Maurent melihat ibunya yang menggeleng sambil melotot menyuruhnya mengagguk. Ayah pun ikut melihat ibu, sontak ibu pura-pura bermuka cemas. Maurent sangat membencinya. Ayah melihat Maurent lagi dan Maurent mengangguk lagi dengan pelan.


“Baiklah, kalau ada apa-apa bilang saja, ayah tak mau terjadi apa-apa lagi padamu“

Ia melihat ayahnya dan melihat jendela dengan tatapan kosong. Ayah kembali ke kursi tempat menyupir dan sekali lagi melihat Maurent.

No comments:

Post a Comment