Saturday, April 10, 2010

1 SEDIKIT PENGEUALIAN

Kelabu pekat awan malam itu dengan butiran salju putih yang jatuh dan terbawa angin hingga jatuh di pohon yang sudah tak berdaun lagi. Seorang anak berambut coklat pekat dengan gaun hitam kesayangannya berjalan di tengah salju yang pekat yang menerpa wajahnya yang muram itu. Ia tampak menghindari sesuatu malam itu sehingga ia memaksakan keluar malam-malam begini dengan gaun hitam yang membuatnya tampak seperti hantu kedinginan. Seperti biasanya tatapannya kosong, Maurent bahkan tidak tau tujuannya pergi malam itu apa, ia terus berjalan menjauhi rumahnya yang ramai merayakan ulang tahun sepupunya. Tidak adil!Sepupunya adalah sealanya untuk ayah dan ibunya yang tidak pernah mengharapkan anak perempuan pucat kurus muram seperti dia. Dari pada ia merasa tersiksa dialam, disuruh membawakan suguhan lebih baik ia keluar merasakan angin yang menusuk kulit pucatnya.


Kelap-kelip lampu jalan membuatnya merasa lebih baik malam itu. Sudah kali keberapa Maurent kabur dari rumah untuk sekedar menghindar dari karamaian. Ia terlalu terobsesi pada penderitaan, kehampaan, kesunyian, dan kemurungan. Karena itulah hidupnya. Ia tidak pernah menangis sejak umurnya lima tahun, sejak ia menyadari ia tidak punya siapa-siapa kecuali ayah. Sungguh umur yang terlalu muda.


Maurent punya, rumah, kamar, dan mainan. Namun ia seperti boneka pajangan yang tidak diperhatikan, pucat, murung, dan sangat menyedihkan. Ia hanya keluar kamar hanya untuk makan, membersihkan diri, dan sekolah. Tapi terkadang ia dipanggil orang tuanya untuk memastikan apakah ia sehat dan bagus untuk ditinggal lagi atau harus masuk ke rumah sakit untuk dititipkan pada suster.


Sesuatu berkelebat didepan matanya, dan berdiri didepan Maurent. Memandangnya dengan mata kuning pucat, pupilnya pipih namun Maurent menyukainya. Itu adalah teman Maurent, Barbara, kucing hitam pekat yang dijauhi orang-orang yang percaya mitos tentang kucing hitam. Ia namai begitu sesuai nama temannya yang mati. Hanya Maurent yang berani mendekat karena ia tidak percaya mitos kucing hitam.


Namun Barbara tampak tidak baik malam itu, ia mengeong pelan dan serak. Maurent melihatnya tidak dengan tatapan kosong menyeramkannya lagi. Maurent berputar mengelilingi Barbara, ia menemukan kaki kucing itu berdarah banyak sekali. Dengan sangat perlahan, Maurent menggendong kucing itu menuju rumahnya.


Maurent tidak peduli orang-orang yang ada di pesta sepupunya akan melihatnya dia membuat malu orang tuanya. Dia masuk ke rumah tanpa mengucap salam sehingga para tamu kaget dengan kedatangannya. Namun ia tetap bertatapan kosong dan tidak peduli, ia membawa Barbara kekamarnya di atas.


“MAUREEEEENT!!! KEMARI CEPAT!”Sudah Maurent duga pasti ibu akan marah. Ia tetap menuju kamarnya dan menaruh Barbara di kamarnya. Ia berpesan pada Barbara agar tidak pergi dari sana lewat tatapan mata. Maurent jarang, sangat jarang, berbicara kecuali hal penting, sangan penting yang mendesaknya bicara. Ia adalah anak yang serius, sekali bicara ia benar-benar serius. Sehingga ia berkomunikasi dengan orang tuanya lewat pandangan mata.


Maurent menuruni tangga menuju ibunya.


“HEH! Maumu apa sih!?Kau telah mambuatku malu!“orang-orang melihatnya dan ibunya yang sedang membentak-bentak Maurent

„Lihat bajumau penuh darah makhluk menjijikkan itu! Tidak sadarkah kau itu membuat orang-orang terganggu!?“Ibu melotot penuh kejijikkan. Namun maurent hanya diam melihat ibunya dengan tatapan tajam


„Sudahlah Mrs.Tyson, anak mu tidak bermaksud mengganggu, kami dapat memakluminya, ia masih anak-anak“


„Apa urusanmu Mrs? Ini urusanku kau tidak usah ikut campur“


„Maafkan saya Mrs.Tyson, kalau begitu saya akan pulang dulu kalau begitu. Selamat malam“ Kepergian tamu itu membuat tamu lain juga pulang dan akhinya tinggal tersisa beberapa orang saja.


Ibunya serba salah sekarang dan akhirnya menghukum Maurent tidak biberi makan malam. Maurent pun pergi ke kamar mandi mencari kotak p3k. Ia belajar mengobati di sekolanya saat salah satu temannya tersayat pisau saat perkelahian. Padahal ia masih tujuh tahun tapi ia sudah mahir dalam banyak hal termasuk menjahit mengobati dan sedikit keterampilan membunuh yang ia pelajari disekolah saat penjahat membunuh temannya dan ialah satu-satunya saksi.


Ia mengobati kaki Barbara dengan sangat hati-hati sampai lukanya benar-benar rapi terbalut. Ia mengganti bajunya sendiri yang ternodai darah. Lalu ia mengambil bonekanya dan menyisirnya.


Tak lama kemudian ayahnya masuk, melihat Maurent dengan rambut terurai menyisiri boneka bergaunnya di pojokkan kasur dan melihatnya dengan tajam. Ayahnya merinding melihat kelakuan anaknya itu. „Maurent,“ Maurent tetap melihatnya dengan tatapan tajam. Sehingga hawa tidak enak yang mencekam merasuki dirinya yang benar-benar ingin pergi dari kamar anaknya. „Bolehkan ayah masuk?“


Maurent mengangguk

„terima kasih.“ Ayah masuk dan duduk di kasur Maurent. Namun maurent mengacuhkannya dan tetap menyisiri boneka bermuka horornya „Ayah ingin tahu, siapa yang kau bawa malam ini? Kenapa ia berdarah?“ Ia memandang Barbara yang sedang tidur di depan lemari baju di kamar Maurent yang gelap.


Maurent bergeleng tanda tak tahu. Sejauh ia hidup tujuh tahun hanya ayahnya yang baik kepadanya. Ia sayang ayah dan tidak ingin kehilangannya seperti ia kehilangan ibu waktu itu. Sudah ia duga Ibu tiri mamang todak cocok untuknya. Namun ayah dengan kasih sayang yang besar membelai kepala Maurent dan bicara dengan lembut „Maurent anakku, jangan kau bersedih karena ibumu. Ayah tau kau tidak setuju dengan pernikahan ayah dengan ibu barumu. Namun mengertilah kau Maurent, ayah butuh sosok pengganti ibu...“


„Aku bisa menggantikan ibu kalau ayah tidak menikah dengan makhluk menjijikkan itu“ Maurent sebelumnya tidak pernah bicara sepanjang itu sehingga membuat ayahnya terkejut


„Astaga Maurent... a.. aku.. ah ayah, ayah tidak tau, kau benar-benar tidak suka ya?“


Maurent memalingkan wajahnya dan bertatapan kosong kembali


„Maafkan ayah maurent. Namun kau mengatakan ini sungguh terlambat.“ Wajah ayah tampak menyesal bercampur sedih. „sudah malam, waktunya kau tidur, kemarilah Maurent“ Kata ayah, namun ia tetap manatap kosong jendela. Akhirnya ayah menarik tangan Maurent dengan lembut. Maurent menoleh dan melihatnya tersenyum lembut sambil menyelipkan sesuatu ke tangan Maurent „Selamat malam, mimpi indah anakku“ ayah mengecup kening maurent dan tersenyum seraya menutup pintu.


Maurent membuka genggamannya dan melihat bungkusan yang diberikan ayah padanya. Sebuah liontin emas berbentu spiral dengan ukiran bunga-bunga dan tanaman yang rumit. Di sebelah liontin itu ada foto ayah dan ibunya menggendong bayi sambil tersenyum. Maurent tidak menangis menerimanya. Ia hanya memandangnya, ia mengalungkan liontin itu dan menyelipkan fotonya di bawah bantal. Ia tidur tanpa ingin tau apa isi liontin itu. Ia memutuskan tidak akan membukanya hingga waktu yang ia anggap tepat.

No comments:

Post a Comment