Entah orang menyadarinya atau tidak, ternyata salju itu ada baunya, Maurent menciumnya dengan perasaan was-was. Ia mengikuti langkah ayahnya menuju bungalow tempat berteduh dari hujan salju dikala piknik dengan keluarga rekan-rekan kerjanya.
Langkah Maurent kecil sehingga ayah harus sering-sering melihat ke belakang menunggu Maurent sampai, baru mulai jalan lagi. Lapisan salju tebal sekali sampai paha Maurent terbenam didalamnya. Mereka melewati pepohonan seperti hutan untuk bisa sampai ke bungalow.
Mereka sudah sampai di bungalow. Tempat itu kecil teduh, dilatarbelakangi oleh gunung tinggi, sungguh pemangangan yang indah.Tempat itu terlihat menyenangkan namun Maurent tetap tidak suka. Ayah mengajak Maurent masuk dan disana sudah banyak rekan kerja ayah dan keluarganya.
Seperti biasa ayah melepasnya dan Maurent mencari pojokkan untuk menyendiri. Ia berjalan mengitari bungalow kecil dan sempit itu hingga ia lelah. Akhirnya ia memutuskan untuk bergabung dengan keramaian walau ia tidak suka.
jangan! Kau harus pergi dari sana sekarang juga... Maurent terkejut bukan main, ia mencari-cari sumber suara yang membuatnya terkejut itu. Ia benar-benar takut, ia tidak pernah merasakan setakut ini sebelumnya. Ia makin merasa tercekam dan berlari menuju keramaian. Namun belum sampai kesana kakinya sakit sekali, ia merasa kakinya seperti disayat, dikuliti, dipatahkan tulangnya, dan digiling. Maurent menahan kesakitan misteriusnya sampai air matanya keluar.
Ia mencoba berjalan keluar namun rasa sakit itu begitu menyiksanya. Kalau kau keluar, aku akan menghilangkan sakit itu. Maurent tidak takut sekarang, ia marah! Ia bersaha memberontak tapi semakin memberontak, semakin sakit kakinya. “OKE OKE AKU AKAN KELUAR!” jerit Maurent dalam hati. Namun rasa sakit itu tidak hilang. Tiba-tiba jantungnya kembali berdetak kencang, dan dirinya ingin sekali keluar entah kenapa, seperti akan ada bencana yang menewaskannya jika ia tidak keluar.
Akhirnya ia benar-benar akan bergegas keluar sesakit apapun kakinya. Namun anehnya kakinya dapat melangkah dengan ringannya saat menuju keluar, sakit itu hilang dalam sekejap. Maurent sampai di pintu bungalow tapi pintu itu terkunci. Ia menarik-narik gagang pintu seperti orang gila, ia menggedornya seakan ia disaturuangkan dengan singa yang dapat kapan saja menerkam dan mengoyak isi perutnya.
Orang-orang yang melihatnya entah kenapa menjadi panik, salah satu dari mereka yang memegang kunci membukanya. Ayah yang penasaran mendekati Maurent yang tidak sabar ingin keluar, mukanya yang pucat menjadi lebih pucat seperti mayat.
Akhirnya pintu terbuka dan menjeblak keluar. Tanpa basa-basi Maurent menyeruak kaluar dan berlari secepat kilat menjauhi bungalow. Ia tidak peduli dengan ayah yang berlari mengejarnya sambil memanggilnya, dan ibu dengan tampang menyeramkannya ikut mengejar Maurent. Ia tidak peduli! Tidak! Ia terus berlari, karena entah siapa ingin ia melakukannya.
Saking paniknya Maurent tidak menyadari ada ranting yang menghalangi jalannya, sontak ia terjatuh, ia tak sanggup berdiri, akhirnya ia merangkak, mencakar-cakar tanah dingin beku bersalju, hidungnya yang berdarah tak ia hiraukan. Ia merangkak dengan panik sampai ada seseorang yang menarik kakinya dengan kasar.
“TIDAAAAAAAAAAAAK!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!!” Maurent tidak tau apa lagi yang harus ia lakukan. Ia menyangkutkan tangannya pada akar tidak ingin tertarik oleh tangan kasar itu namun ia tetap ta bisa menahan kakuatan sesuatu yang menariknya
“KAU INI APA-APAAN SIH!!HENTIKAN TINGKAH GILAMU INI MAURENT!!”
Alangkah terkejutnya Maurent, ternyata tangan yang menariknya adalah tangan ibu! Ia langsung memeluk ibu tak peduli ia monster macam apa. Maurent yakin ia akan benar-benar dihukum. Tetapi ia tetap tak peduli, namun beberapa lama memeluk kaku ibu, tak disangka ibu membalas pelukan Maurent. Disebelahnya ada ayah yang juga memeluk Maurent.
Tiba-tiba suara gemuruh besar mengejutkan mereka. Sontak mereka menoleh kebelakang. Mereka hampir tak percaya apa yang mereka lihat, gulungan salju menyapu bungalow tempat mereka ,mengobrol tadi dan menuju ke arah mereka dengan sangat cepat.
“CEPAT LARI!!”Ayah menggendong Maurent dan ibu berlari secepat kilat, Maurent tidak menyangka Ibu bisa bisa berlari seganas itu. Salju makin dekat bengan mereka, ayah menghindar dari pohon-pohon yang menghalanginya, dan ibu sudah ada didepan ayah dan Maurent.
Sungguh menyeramkan, Salju itu menyapu semuanya tanpa habisnya. Kaki ayah telah menyetuh gulungan salju itu dan membuat Maurent menjerit. Percikan ranting-ranting hancur merobek pipi mereka bertiga dan membuat mereka lari makin cepat. Namun sekencang apapun mereka berlari salju itu makin dekat, sehingga ayah terjatuh dan Maurent pun ikut jatuh, kepalanya berdarah tapi ia tidak peduli ia membantu ayahnya berdiri namun terlambat! Saljunya! Salju itu akan menghapus mereka sekarang juga! Maurent tak sanggup melihatnya, ia menutup matanya sambil memejamkan mata histeris. Segalanya gelap dan ia tidak sadarkan diri.
Suara jeritan orang, kerumunan orang membuat Maurent tersadar. Kepalanya sakit sekali, badannya apalagi, ia merasa badannya beku dan tidak ada yang tau, ia tidak peduli lagi, ia ingin berdiri tapi tak punya tenaga yang cukup untu melakukannya.
“Hei lihat ada orang disana!!“ Seseorang menjerit
“Anak kecil! Ya, seorang anak kecil, dan, dan… Astaga!! Ada korban lagi!!!”
Maurent tidak tahu dudah berapa lama ia pingsan. Untung saja ia tidak mati karena pendarahan dikepalanya. Namun ia masih bingung dengan apa yang ia dengar dari para penolong itu, ‘Ada korban lagi’. Maurent mencari-cari korban yang dimaksud orang-orang itu namun ia tidak menemukannya.
Pusing sekali kepalanya, rasanya mau pecah, ia meringkuk kedinginan menunggu kedatangan para penolong yang bersusah payah menembus longsoran salju yang dahsyat. Ia gemetar dibalik ranting besar. Tiba-tiba saja ada keinginan kuat untuk melihat kearah kanan bawah, rasanya seperti keinginannya tadi untuk pergi keluar. Dengan segera ia menolehkan kepalanya den ia melihat sesuatu yang membuatnya syok,tetapi wajahnya tetap muram memandangi mayat orang tuanya dan diam tanpa belas kasihan diwajahnya yang pucat.
Wajah ayah penuh darah, Maurent melihat setengah kepala ayahnya hancur, mungkin karena tergilas batang pohon atau benda lain yang terbawa salju yang sekarang menindih kaki Maurent. Matanya melotot, mulutnya terbuka, wajahnya hancur tapi Maurent tetap mengenalinya, tangannya, Maurent baru menyadarinya, pergelannganya putus. Ia tak tahu, ranting atau potongan pohon yang menyeret mereka bisa melakuka perbuatan macam itu.
Ibu melotot buyar, kosong, rahangnya robek dan Maurent, melihat, entah apa yang warnanya merah muda sekali berdarah di pecahan kepala ibunya. Maurent yakin itu otak. Ia syok namun tertarik, ia belum penah melihat otak manusia secara langsung.
Tidak seperti anak lain yang jika melihat sesuatu seseram itu akan menjerit histeris dan menangis meratap, ia hanya melihat ayahnya dengan tatapan kosong dan muram. Ia tidak ingin dan tidak bisa menangis, ia hanya diam saja meratapi nasibnya dalam hatinya yang hampa. Sungguh malang, anak semuda itu benar-benar kehilangan segalanya dan tidak bisa melakukan apa-apa.
Ia terdiam menggigil sambil merasakan darahnya mengalir. Orang-orang akhirnya datang membalutnya dengan kain tebal dan menggotong kedua orang tuanya. Maurent hanya diam.... Diam dan melihat kekosongan harinya...
No comments:
Post a Comment